Source: Bisnis
November 4, 2014
Bisnis.com, JAKARTA – Sedikitnya 260 organisasi sipil global menolak pemeringkatan Doing Business 2015 yang diluncurkan Bank Dunia pada pekan ini terkait dengan semakin terpinggirkannya petani kecil dan masyarakat adat di pelbagai negara.
Hal itu disampaikan Oakland Institute menjelang peluncuran laporan Doing Business terbaru yang dinilai memfasilitasi investasi asing sehingga memerosotkan perlindungan sosial dan lingkungan. Organisasi itu memaparkan negara-negara dipaksa untuk mengadopsi peraturan dan kebijakan, yang menyenangkan agribisnis besar dan perusahaan asing.
“Bank Dunia mengambil alih otoritas untuk memeringkat negara, mendikte kebijakan nasional dalam negara berdaulat, yang membahayakan pekerja miskin, masyarakat adat dan petani kecil,” kata Direktur Eksekutif Oakland Institute Anuradha Mittal, dalam keterangan resminya, pekan ini.
Pemeringkatan Bank Dunia Doing Business adalah pemberian skor kepada negara-negara tertentu, berdasarkan pada bagaimana ‘kemudahan berbisnis’. Hal tersebut membuat para pemimpin negara berkembang melakukan deregulasi ekonomi mereka dengan harapan menarik investor asing.
Pada April, Oakland Institute menerbitkan laporan Willful Blindness: How the World Bank’s Doing Business Rankings Impoverish Smallholder Farmers, yang menyatakan proyek Bank Dunia tersebut ikut memfasilitasi perampasan lahan dan menaburkan kemiskinan.
Tangki pemikir yang berbasis di California, Amerika Serikat itu menuturkan apa yang Bank Dunia pertimbangkan, sering berkebalikan dengan kepentingan masyarakat lokal. Mittal sebelumnya memaparkan efek dari pemeringkatan itu menghancurkan, macam apa yang terjadi di Sierra Leone dan Liberia akibat masuknya perusahaan tebu dan kelapa sawit.
Abetnego Tarigan, Friends of the Earth Indonesia, menga takan liberalisasi yang terjadi pada investasi di Tanah Air dapat mempercepat proses penyingkiran masyarakat adat dan petani dari tanahnya sendiri.
Dia mengungkapkan hal itu terjadi pada sektor ekonomi macam perkebunan, pertambangan dan kehutanan, yang kerap menimbulkan praktik perampasan lahan. Masalah lainnya adalah minimnya persentase kepemilikan masyarakat dibandingkan dengan penguasaan korporasi.
“Proses akuisisi berjalan terus, karena perusahaan skala besar, baik yang lokal maupun yang holding terus melakukan ekspansi lahan,” ujarnya ketika dimintai tanggapannya. “Akuisisi lahan menimbulkan konsekuensi melebarnya kesenjangan ekonomi.”
Editor : Martin Sihombing
View Full Article at Bisnis
Pemeringkatan Bank Dunia Ditolak
Source: Bisnis
November 4, 2014
Bisnis.com, JAKARTA – Sedikitnya 260 organisasi sipil global menolak pemeringkatan Doing Business 2015 yang diluncurkan Bank Dunia pada pekan ini terkait dengan semakin terpinggirkannya petani kecil dan masyarakat adat di pelbagai negara.
Hal itu disampaikan Oakland Institute menjelang peluncuran laporan Doing Business terbaru yang dinilai memfasilitasi investasi asing sehingga memerosotkan perlindungan sosial dan lingkungan. Organisasi itu memaparkan negara-negara dipaksa untuk mengadopsi peraturan dan kebijakan, yang menyenangkan agribisnis besar dan perusahaan asing.
“Bank Dunia mengambil alih otoritas untuk memeringkat negara, mendikte kebijakan nasional dalam negara berdaulat, yang membahayakan pekerja miskin, masyarakat adat dan petani kecil,” kata Direktur Eksekutif Oakland Institute Anuradha Mittal, dalam keterangan resminya, pekan ini.
Pemeringkatan Bank Dunia Doing Business adalah pemberian skor kepada negara-negara tertentu, berdasarkan pada bagaimana ‘kemudahan berbisnis’. Hal tersebut membuat para pemimpin negara berkembang melakukan deregulasi ekonomi mereka dengan harapan menarik investor asing.
Pada April, Oakland Institute menerbitkan laporan Willful Blindness: How the World Bank’s Doing Business Rankings Impoverish Smallholder Farmers, yang menyatakan proyek Bank Dunia tersebut ikut memfasilitasi perampasan lahan dan menaburkan kemiskinan.
Tangki pemikir yang berbasis di California, Amerika Serikat itu menuturkan apa yang Bank Dunia pertimbangkan, sering berkebalikan dengan kepentingan masyarakat lokal. Mittal sebelumnya memaparkan efek dari pemeringkatan itu menghancurkan, macam apa yang terjadi di Sierra Leone dan Liberia akibat masuknya perusahaan tebu dan kelapa sawit.
Abetnego Tarigan, Friends of the Earth Indonesia, menga takan liberalisasi yang terjadi pada investasi di Tanah Air dapat mempercepat proses penyingkiran masyarakat adat dan petani dari tanahnya sendiri.
Dia mengungkapkan hal itu terjadi pada sektor ekonomi macam perkebunan, pertambangan dan kehutanan, yang kerap menimbulkan praktik perampasan lahan. Masalah lainnya adalah minimnya persentase kepemilikan masyarakat dibandingkan dengan penguasaan korporasi.
“Proses akuisisi berjalan terus, karena perusahaan skala besar, baik yang lokal maupun yang holding terus melakukan ekspansi lahan,” ujarnya ketika dimintai tanggapannya. “Akuisisi lahan menimbulkan konsekuensi melebarnya kesenjangan ekonomi.”
Editor : Martin Sihombing
View Full Article at Bisnis